Malam menggelegar. Tetes hujan sebesar biji kenari menimpa bumi. Berkali-kali petir menyambar membuat malam yang kelam menjadi terang sesaat. Namun aku hanya terpaku menatap sendu rintik hujan yang menyentuh gersang tanah. Hati ini meronta sendirian di kegelapan. Aku sama sekali tak menyangka apa yang sebenarnya terjadi, tetapi yang pasti aku merasa hampa. Hampa akan kasih sayang di keluarga ini. Setiap kali aku di rumah, aku hanya terdiam sendiri. Orang tuaku hanya memandang tak bicara sepatah katapun. Berbeda dengan kakak yang selalu disapa dan tertawa bersama mereka. Hal itu membuat hati ini kian tersiksa dan iri. Sebenarnya apa yang salah denganku sehingga aku merasa canggung jika bercakap-cakap dengan orang tua? “Hei Ar, sudah makan belum? Ini Kakak bawakan mie ayam, ayo kita makan bersama!” sapa Kak Fahrul “Lah Kak malas. Kakak saja duluan!” jawabku “Ardi!” panggil ayah dari kejauhan “Itu kan dipanggil, ayo!” Aku berdiri berjalan dengan malasnya menuju meja makan. “Di
Hanya cerita usang yang berusaha menjaga nilai-nilai kemanusiaan dan tradisi negeri yang kaya raya ini. HIDUP INDONESIA